Follow

Senin, 16 Mei 2016

RE- BIRTH



“Aku takut.... Aku takut jika tiba – tiba saja tuhan mencabut nyawaku saat aku bersamamu.”
“Aku percaya.. kau akan kembali dan bersua lagi.”


            Rintik air hujan menyapu semua emosi yang pernah singgah dihati semua insan. Terkadang ia datang untuk menghibur,terkadang ia datang membawa lara. Tapi,nenekku selalu bilang hujan adalah anugerah dari Tuhan. Perantara Tuhan untuk menyampaikan cintanya lewat tangan – tangan alam untuk para hamba-Nya yang mungkin sedang bimbang.
            Well,mungkin kau akan tertawa saat tau kata – kata tadi terlontar dari mulut seseorang yang hina sepertiku. Mungkin hanya sedikit anugerah ditengah kebimbanganku saat ini. Kau tau bukan? Enggak semua malaikat dengan Cuma – Cuma turun buat ngehibur manusia yang kesepian. Apalagi cewek lusuh sepertiku. Hahaha,toh aku juga enggak ngarep.
            Kuusap kaca tipis berembun itu dengan ujung telunjuk yang mulai memucat. Kupaksakan senyum ringkih terpasang dibibir pecah – pecah saat seorang suster cantik paruh baya mengetuk pintu kamar.
            “Riessa sayang,kau sudah siap?” tanyanya lembut kearahku
            Sejenak kelemparkan pandangan kearah kerumunan orang yang berlalu lalang dibawah sana. Terlihat seorang pemuda berpayung transparan nampak terburu – buru dengan bibirnya yang terus – terusan mengepulkan asap putih tipis,bibirnya terlihat biru. Aku terkikik kecil,entah kenapa air mataku meleleh,cepat – cepat kuhapus dengan sebelah tangan dan bergegas membalas senyum sang suster yang masih berdiri didekatku.
            “Sudah dong Sus. Udah pasti malahan,haha.” Balasku jenaka
            Pandangan lembutnya berubah menjadi penuh simpatik. “Berjuanglah.” Ujarnya singkat,lantas berjalan kearahku.
            “Thanks,Sus.” Balasku.”Ummm.... Boleh aku minta satu permohonan?”
            Derai hujan menambah intensitasnya,angin senja menerobos masuk kedalam ruangan. Mencoba membekukan suasana bimbang.
****
            “Kau bisa lebih cepat? Dasar sapi gendut!”
            Cowok itu bersungut – sungut,rambut hitam gelapnya terlihat senada dengan iris matanya yang kini menajam. Pipinya yang merah menggembung bagai tomat,baju putih – krem musim panasnya membuatnya terlihat elegan walau kini wajahnya benar – benar semerah kepiting rebus.
            “Aku udah berusaha cepat tau! Kakimu saja yang kepanjangan,weeeek.” Balasku sambil menjulurkan lidah jahil. “Dan lagi,aku bukan sapi dan aku tidak gendut! Ingat itu William Cedric!”
            Will memutar matanya bosan. “Kalau kau bukan sapi lalu apa? Ulat tikar gembul,huh?” telunjuk lentiknya menunjuk kubangan air tak jauh dari tempatnya berpijak.”Kau harus sering – sering berkaca,Riessa Vien.” Tambahnya sok keren.
            Will menarik lenganku kasar sambil mengomel tak jelas,rambutnya acak – acakan dimainkan angin. Terlihat keren. Lima detik kemudian,ia tersenyum lebar,memamerkan sederetan gigi putihnya. Telunjuknya menunjuk sebuah gubuk sederhana ditengah – tengah padang bunga. Aku mengangguk,mengerti isyaratnya dan ikut berlari lepas menerobos hamparan bunga yang bergoyang.
            Kurebahkan tubuhku bebas saat tiba digubuk. Tawa hangat menguar dibawah sengatan sinar mentari. Will menjejerkan isi ranselnya dihadapanku. Banyak sekali buku – buku disana. Bibirnya mengerucut saat bingung buku mana yang ingin ia tunjukkan padaku. Aku terkikik melihatnya.
            “Ini dia!” ujar Will bangga. “Aku diam – diam mengambilnya dari rak – rak buku tertutup diperpustakaan. Teknologi SAINS modern,disini tertulis bagaimana cara mengatasi Leukimia lohh!” jelasnya dengan tatapan berbinar – binar.
            Kunaikkan sebelah alis. “Berarti sama aja kamu nyuri dong? Itu enggak baik,Will.”
            Will mendengus.”Aku enggak nyuri,dasar cewek sapi! Kalopun enggak aku ambil dua hari lagi buku – buku itu bakal dimasukkan kegudang dan malah akan jadi kasurnya para kecoa. Kan sayang!” belanya. “Lagian,aku bawain buku ini karena aku pengen kamu sembuh.” Tatapannya menjadi melembut sekarang.
            Kugenggam kedua telapak tanganku sendiri,aku baru sadar. Sudah empat tahun sejak aku divonis dokter. Selama itu penyakit yang katanya berbahaya ini bersemayam dalam tubuh kurusku. Aku enggak ngerti itu penyakit apa. Well,umurku sekarang baru 10 tahun,wajar dong. Mirisnya lagi,karena penyakit ini juga,aku enggak pernah tau rasanya jadi siswi suatu sekolah. Kalau – kalau apa peri nyasar datang dan menawariku permohonan,pasti sudah kujawab “pengen sekolah”. Haha.
            Jangankan bermain dengan teman sebaya,teman aja enggak punya. Maklum,sedari kecil aku terisolasi dari lingkungan anak – anak karena penyakit ini juga. Karena penyakit ini juga,kedua orang tuaku bercerai dan pergi entah kemana. Hanya Will,satu – satunya anak yang mau berteman denganku semenjak pertemuan kami 2 tahun lalu. Kami bertemu dirumah sakit,saat itu Will dirawat,kepalanya terluka karena jadi korban salah sasaran perkelahian disekolahnya.
            “Woii! Jangan ngelamun! Main kedanau sana yuuk!”
            Teriakan Will menyadarkanku,padahal sedikit lagi mungkin ada hujan dimataku. Cowok pawang hantu didepanku ini memang satu – satunya teman yang bersikeras merayu perawatku supaya aku bisa keluar meski hanya sebentar,untuk sekedar menikmati dunia. Soalnya aku juga enggak tau kan,kapan waktu terakhirku didunia ini. Well, mungkin William adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku. Malaikat yang membuat hari – hariku berwarna.
            “Will,aku enggak bisa lama – lama loh!” ujarku masam. “Suster Edith pasti akan memarahimu lagi.”
            Will menepuk dadanya sok keren. “Aku enggak takut sama nenek lampir kayak dia.”
            “Siapa yang Nenek Lampir,huh?!”
Terdengar suara wanita paruh baya melengking dibalik punggung Will. Rambutnya yang digelung rapi lengkap dengan pakaian putihnya. Tidak salah lagi,itu Suster Edith.
            Aku hanya bisa nyengir saat melihat Will dimarahi karena kejahilan,keteguhan dan sifatnya yang keras kepala itu. Hari – hari seperti itu terus berlanjut,diiringi oleh canda tawa Will dan omelan Suster Edith dan diakhiri dengan pil ultra pahit setiap malamnya. Kuharap semua itu bisa terus berputar bagai siklus,namun itu hanya harapan naifku.
            Kini,enam tahun berlalu,Will semakin jarang datang kesini untuk sekadar mengajakku main ataupun curhat tentang teman – temannya yang berbuat jahil atau menjauhinya. Maklum,itu hal lumrah,notabene sekarang Will seorang siswa sekolah menengah atas. Dengan dia yang rendah hati dan cerdas,si pawang hantu itu mungkin sudah kebanjiran banyak job dan tugas.
            Jika dihitung – hitung,sudah 2 bulan,William enggak memunculkan batang hidungnya dihadapanku. Mungkin aja,Riessa Vien sudah jadi onggokan memori diotaknya,but,no problem. Aku tetap menantinya,karena enggak ada orang lain yang bisa kunanti lagi sih. Suster Edith juga menemaniku setiap hari,itu juga udah lebih dari cukup. Haha..
            Tapi kalo boleh – hanya kalo boleh – aku pengen banget,ngomong yang – mungkin – terakhir kalinya dengan seorang William Cedric. Bukan hal aneh sih,tapi yahh. Cewek gembel kayak aku udah sering banget ngerasain dinginnya jarum operasi,ini udah menjelang ke 7 kalinya. Tapi ada yang beda dengan operasi kali ini. Nampaknya akar dari penyakit Leukimia ini sudah menjangkau banyak organ vital tubuhku.
            Operasi kali ini adalah yang terakhir. Kesempatan sukesnya hanya 50% . jika berhasil aku akan sembuh total,namun jika tidak,aku mungkin segera meniti tangga – tangga cahaya langit. Ngomong – ngomong,aku enggak jago taruhan,jadi enggak tau mana yang bakalan terjadi.
            Tuhan memang adil,seakan mendengar permohonanku,derap kaki terdengar dilorong,disusul dengan daun pintu yang diputar. Angin berdesir bagai symphony alam yang benar – benar sempurna. Sosok tegap itu kini berdiri dihadapanku,rambut hitamnya masih saja acak – acakan. Air mukanya kusut,sulit terbaca. Napasnya masih tak lancar,terlihat seperti ada yang mengganjal dipikirannya.
            “Ha – Hai,Riees” Sapa sosok itu canggung. Ya,sosok itu,William.
            Kupasang senyum getir dibibir pucat. “Hai.” Balasku singkat. “Kamu lelah kan? Duduklah.”
            William berjalan gontai,duduk dengan gusar dikursi lusuh didekat ranjangku. “Bagaimana kabarmu,Riess?”
            “Enggak begitu yakin,yang jelas aku masih hidup.” Kulihat William tersenyum atas jawabanku. Iseng,tanganku merogoh sebuah buku yang sudah usang dari balik selimut. “Aku menuruti saran buku ini.” Tambahku puas.
            William terbelalak,terlihat jelas dia mati – matian menahan napas agar butiran air dibulu matanya yang lentik itu tidak terjun bebas. Dia masih keliatan keren kok,haha..
            “Maaf ya.” Celetuk Will.”Guruku memberiku tugas diluar negeri. Orang tuaku juga sibuk akan banyak hal yang dibutuhkan untuk berkarir. Maafkan aku yang hampir lupa padamu. Padahal kamu masih saja menyimpan pemberianku yang enggak ada artinya itu.”
            Aku mendelik. “Ini berharga tau! Buku ini kan simbol harapanmu, jangan lupa Will! Aku berhasil bertahan selama 10 tahun ini karena ada kamu dan Suster Edith. Mana mungkin aku marah kekamu. Dasar pawang hantu aneh!” balasku sambil tertawa.
            Will bergeming,air matanya kini sukses terjun bebas diwajah rupawannya. Namun bibirnya mengukir sebuah senyuman ikhlas yang menyejukkan. Angin senja meniup tirai dinding pucat yang sedang menari. Saat tertimpa sinar mentari senja,wajah Will benar – benar tampak bak malaikat.
            “Aku senang kok,bermain bersamamu itu menyenangkan. Karena mungkin Cuma itu yang bisa kurasakan. Bisa dibilang tingkah songongmu itu,sumber kehidupanku. Thanks loh Will. Aku enggak bisa ngebayangin kalo kamu enggak ada.” Kini bibirku mulai gemetar,pandanganku mulai kabur. “Lusa pagi adalah operasiku yang ketujuh,terakhir. Hei,kalo aku enggak kembali,tolong buat Suster Edith tersenyum yaak! Soalnya cuman kamu dan dia yang aku kenal. Okay ?!”
            Sempat kulihat bibirnya gemetar,namun Will mengangguk. “Aku pasti akan menemanimu saat operasi.”
            “Enggak perlu,kalo aku meninggal dihadapanmu,itu hal paling seram dalam hidupku.”
            Kali ini William tertawa lepas. “Aku janji enggak akan mewek dihadapanmu. Kalopun jasadmu udah enggak ada didunia ini,aku yakin jiwamu akan terlahir kembali dan menemuiku disini. Aku yakin.”
            Pandanganku buram,meski kudengar suaranya,lidahku kelu untuk menyahuti. Entah apa yang terjadi,namun semuanya berubah menjadi hitam.
****
            “Aku punya satu permohonan.”
Suster Edith menatapku iba. “Katakan,aku akan berusaha menyanggupinya.”
“Thanks.” Balasku sambil tersenyum. “Aku sudah memberi Will jadwal operasiku yang salah,tapi aku tau dia akan tetap datang kesini tepat waktu. Tolong jangan,biarkan dia melihatku saat aku sekarat. Kumohon.” Tambahku.
            Suster Edith seakan tersambar petir mendengarnya,air mukanya menjadi tak yakin. “Itu mustahil,Riess. Will itu kan –“
            “Kumohon,kali ini saja.” Desakku.
            Para dokter tiba dan bersiap memindahkanku keruang operasi,Suster Edith mengangguk gemetar. Walau aku tau,sulit baginya menyanggupi permohonanku. Will sudah ada dibawah,melihatku sekarat,mungkin saja bisa mempengaruhi kesehariannya. Jelas aku enggak mau jadi beban baginya lagi,sudah cukup aku menjadi beban disini,sedangkan orang yang melahirkanku sudah hilang entah kemana.
            Lampu operasi dinyalakan,masih sempat kudengar teriakan Will yang membabi buta diluar sana,mencoba menentang Suster Edith. Kusunggingkan,senyum selagi aku bisa,diiringi dengan setetes bulir air bening yang terjun dari mataku yang sayu.
            Jarum bius menembus kulitku,kurasakan kesadaranku melayang kemasa – masa kecilku yang indah. Berlarian dipadang bunga,bercekcok dengan Will dan dimarahi Suster Edith. it’s really sweet memory. Sayang harus kutinggalkan disini,rasanya ingin kudekap hingga ke kehidupan yang selanjutnya.
            Banyak waktu terlewat,kubuka mata dan kudapati wajah kecewa para dokter,sudah kuduga,ini memang sudah saatnya. Pintu ruangan didobrak keras,Will muncul dari sana dengan mata memerah dan benar – benar sembab. Padahal ia berjanji tidak akan menangis. Ia berlari kearahku tanpa memerdulikan hardikan para dokter.
            Mulutnya berkomat – kamit melontarkan banyak hal yang enggak lagi dapat ditangkap telingaku. Tangannya yang dingin menggenggam tangan lunglaiku,matanya mencurahkan segala yang ingin dia katakan. Lidahku kelu,tubuhku mati rasa. Tak ada yang bisa kulakukan untuk meresponnya kecuali air mata yang mengalir tulus.
            Suster Edith ada disana,menutupi hidungnya dengan saputangan pucat kesukaanya. Sarafku rasanya mati,otakku seakan mengisyaratkan bahwa ia telah bebas tugas. Mungkin inilah saat ku untuk meninggalkan semua kenangan indah dengan mereka.
            Hanya sedikit kata – kata Will yang berhasil kutangkap.
            “Kami menunggumu. Kami Mencintaimu! Kuharap kamu bisa kembali kesini suatu saat nanti. Ingatlah aku menunggumu! Aku menyayangimu seumur hidupku. Kumohon,tersenyumlah!”
            Meski hanya sedikit sudut bibirku yang bisa kutarik,aku berusaha sebelum rasa kantuk luar biasa itu menarik kelopak mataku kuat – kuat. Diiringi senyum – tangis William Cedric dan Suster Edith Millbrugh.

-FIN-

           
           
             

2 komentar:

  1. neng nggak ngereview novel lagi?????

    BalasHapus
  2. masih kagak tau mau ngereview apa'an :v
    situ kapan ngeriview neng :v

    BalasHapus

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com