Follow

Senin, 03 September 2018

A LETTER FROM THE EARTH



“someday,i hope tonight will be full of stars. The blank space will dissapear. Time has stopped,and the most important. You’ll be here.”

            Jalanan itu lengang, berliku, berdebu. Dedaunan kering sesekali berterbangan seakan tak lagi diharapkan partisipasinya dalam kehidupan, dijalan yang  menikung tajam ini, ada banyak saksi yang mungkin tak pernah kau sadari melihatmu setiap detiknya. Terkadang dia meringkuk, menelaah dan menatapmu dalam syahdu. Matanya melebar menanyakan masih adakah rasa empati dalam jiwa setiap manusia yang lewat.
            Bahu jalanan yang terbengkalai menyisakan debu – debu dan para makhluk yang tak dikehendaki keberadaannya oleh hingar – bingar peradaban. Anjing – anjing kudis yang pincang,kucing bermata satu,tikus curut yang lalu lalang,ataupun onggokan  boneka kusam yang sudah robek disana sini,bagai gadis penjual korek api yang tidak sengaja membakar rambutnya sendiri karena frustasi.
            Well, disana jiwa rapuh ini singgah. Terdiam, termangu. Lidah ini kelu melihat damainya peradaban dalam ketersisihan. Sejenak ada rasa ingin berteriak,melontarkan untaian ritme kesakitan,yang mungkin hanya mereka yang tau rasanya. Hingar – bingar yang katanya toxic kebahagiaan yang mutlak, membunuh sedikit demi sedikit rasa damai. Kau tau? Saat matahari mengucapkan sampai jumpa pada langit biru, langit akan terasa damai,semburat oranye seolah mengisyaratkan akankah mata masih bisa mengedarkan padangananya esok hari? Ataukah dia akan beristirahat membawa raga dalam ayunan keheningan panjang.
            Tikus curut ditikungan itu berdecit, jiwa – jiwa hampa disana tersadar, bukankah manusia sering mengisyaratkan tikungan sebagai area rawan kecelakaan? Bagi kami, tempat itu adalah muara dimana obsesi dan frustasi berkumpul. Meraung – raung menciptakan gemerlap palsu, merobek dimensi dan membunuh jiwa – jiwa malang yang hampa.
            Jiwa ini termangu,melihat tujuan yang dulu indah, sekarang kian meredup. Tiap detik berlalu, membentuk symphony waktu yang sedikit demi sedikit menggugah  ruang dan waktu. Sebuah tangan mungil yang gelap menyentuh jiwa ini. Dingin. Hampa. Namun suaranya mampu membuat changeling berubah menjadi burung gereja. Dia tersenyum, rambut ikalnya yang kusut dimainkan angin. Bibir keringnya bergetar,menggumamkan sebuah lisan yang sulit diterjemahkan. Simpul bibirnya tertarik, lalu senja menghiasi langit dengan cantiknya.
            Sekilas jalanan itu menjadi sedikit lebih indah. Gadis – gadis kecil berdiri menyalakan termaram, berlarian menyambut malam, anjing – anjing bernyanyi dengan lolongannya yang menyatakan kebebasan. Semilir angin bersiul merdu, menyejukkan jiwa yang entah ingin berjalan kemana. Dedaunan yang kering beterbangan, bergesekan pelan, membawa dunia menjadi gulita.  Sebuah tangga – tangga cahaya berpendar dari temaram yang tercecer dibahu jalan.
            Denting bel sebuah sepeda ontel membuat semuanya buyar. Menyadarkan bahwa kini tangan ini berpendar, mengisyaratkan dalam setitik cahaya senja akan kembali datang, menghantarkan jiwa – jiwa frustasi ke peraduan. Mengajaknya tersenyum lewat rambut ikal kusutnya yang dimainkan angin. Menyadarkan jiwa ini bahwa,
I’m still alive today.

“This day isn’t rain, the sky is so clearly orange. I see smile in this sky, i saw love, i saw a way, that hard to reach, with my sorrow and with my guilty. Wish u were here, when the rain came and make my hair wet. And when dawn came outside my window.”


Ps : Dosen saya berkata, “Tidak usah pedulikan grammar” :’v




luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com