“someday,i hope tonight will be full of stars. The blank space will dissapear. Time has stopped,and the most important. You’ll be here.”
Jalanan
itu lengang, berliku, berdebu. Dedaunan kering sesekali berterbangan seakan tak
lagi diharapkan partisipasinya dalam kehidupan, dijalan yang menikung tajam ini, ada banyak saksi yang
mungkin tak pernah kau sadari melihatmu setiap detiknya. Terkadang dia
meringkuk, menelaah dan menatapmu dalam syahdu. Matanya melebar menanyakan
masih adakah rasa empati dalam jiwa setiap manusia yang lewat.
Bahu
jalanan yang terbengkalai menyisakan debu – debu dan para makhluk yang tak
dikehendaki keberadaannya oleh hingar – bingar peradaban. Anjing – anjing kudis
yang pincang,kucing bermata satu,tikus curut yang lalu lalang,ataupun
onggokan boneka kusam yang sudah robek
disana sini,bagai gadis penjual korek api yang tidak sengaja membakar rambutnya
sendiri karena frustasi.
Well, disana jiwa rapuh ini singgah.
Terdiam, termangu. Lidah ini kelu melihat damainya peradaban dalam
ketersisihan. Sejenak ada rasa ingin berteriak,melontarkan untaian ritme
kesakitan,yang mungkin hanya mereka yang tau rasanya. Hingar – bingar yang
katanya toxic kebahagiaan yang
mutlak, membunuh sedikit demi sedikit rasa damai. Kau tau? Saat matahari
mengucapkan sampai jumpa pada langit biru, langit akan terasa damai,semburat
oranye seolah mengisyaratkan akankah mata masih bisa mengedarkan padangananya
esok hari? Ataukah dia akan beristirahat membawa raga dalam ayunan keheningan
panjang.
Tikus
curut ditikungan itu berdecit, jiwa – jiwa hampa disana tersadar, bukankah
manusia sering mengisyaratkan tikungan sebagai area rawan kecelakaan? Bagi
kami, tempat itu adalah muara dimana obsesi dan frustasi berkumpul. Meraung –
raung menciptakan gemerlap palsu, merobek dimensi dan membunuh jiwa – jiwa
malang yang hampa.
Jiwa
ini termangu,melihat tujuan yang dulu indah, sekarang kian meredup. Tiap detik
berlalu, membentuk symphony waktu
yang sedikit demi sedikit menggugah
ruang dan waktu. Sebuah tangan mungil yang gelap menyentuh jiwa ini.
Dingin. Hampa. Namun suaranya mampu membuat changeling
berubah menjadi burung gereja. Dia tersenyum, rambut ikalnya yang kusut
dimainkan angin. Bibir keringnya bergetar,menggumamkan sebuah lisan yang sulit
diterjemahkan. Simpul bibirnya tertarik, lalu senja menghiasi langit dengan
cantiknya.
Sekilas
jalanan itu menjadi sedikit lebih indah. Gadis – gadis kecil berdiri menyalakan
termaram, berlarian menyambut malam, anjing – anjing bernyanyi dengan
lolongannya yang menyatakan kebebasan. Semilir angin bersiul merdu, menyejukkan
jiwa yang entah ingin berjalan kemana. Dedaunan yang kering beterbangan,
bergesekan pelan, membawa dunia menjadi gulita.
Sebuah tangga – tangga cahaya berpendar dari temaram yang tercecer
dibahu jalan.
Denting
bel sebuah sepeda ontel membuat semuanya buyar. Menyadarkan bahwa kini tangan
ini berpendar, mengisyaratkan dalam setitik cahaya senja akan kembali datang,
menghantarkan jiwa – jiwa frustasi ke peraduan. Mengajaknya tersenyum lewat
rambut ikal kusutnya yang dimainkan angin. Menyadarkan jiwa ini bahwa,
I’m
still alive today.
“This
day isn’t rain, the sky is so clearly orange. I see smile in this sky, i saw
love, i saw a way, that hard to reach, with my sorrow and with my guilty. Wish
u were here, when the rain came and make my hair wet. And when dawn came outside my
window.”
Ps : Dosen saya berkata, “Tidak usah pedulikan
grammar” :’v