Jalanan licin dikota ini, seakan jadi saksi atas semua
tawa bahagiamu,
Saat burung – burung mengepakkan sayap, berpulang kerumah
Senyummu yang semanis sirup maple rasanya tumpah diatas kain
putih
Menguar melukiskan warna pastel kalem,
Namun kubalas sebuah dosa yang mungkin tak bisa
kujernihkan.”
Dulu.
Seorang
bocah ini nggak pernah mau berpikir jauh kedepan. Melangkahkan kaki mungilnya
dijalanan berbatu tanpa alas kaki. Bersenandung sendu, berjalan tanpa arah.
Langkahnya terhenti, menatap langit biru yang jauh dan dalam. Ketika rambutnya
bergoyang dimainkan angin, ia menemukan satu pohon maple yang berdiri tegar,
kurus, menjulang tinggi, tegar walaupun koyak dimana – mana. Hati bocah ini
terkesima, ia melangkah kebawahnya tanpa pikir panjang.
Dulu.
Bocah
ini enggak pernah tau tempat ini apa dan bagaimana, ia hanya berjalan menyusuri jalanan yang ada. Namun,
pohon maple ini seolah mengayun, memberinya tempat untuk pulang, menyebarkan kehangatan
tiada kira lewat dedaunannya yang gugur. Ketika surya mulai kembali ke
peraduan, dirinya yang kurus dan menjulang terlihat menawan bermandikan cahaya
merah jambu – orange.
Kini.
Bocah
ini sadar, ranting rampingnya terkoyak, dedaunannya rontok setiap hari,
dedaunan yang selalu menghantarkan tidurnya dalam kenyamanan. Terlelap dalam
pelukan ibu pertiwi. Tapi pohon maple itu tegar, tak sedikitpun ia goyang. Si
bocah kembali terkesima, ia berlari memeluk dahan rampingnya erat, tertawa
dibawah cahaya rembulan.
“Apapun
yang terjadi padamu, aku ingin jadi bagiannya. Aku ingin berada disisimu hingga
dahanmu sudah tak lagi tegar.” Bisik bocah ini lirih, seulas senyum tertarik
dari bibir mungilnya.
Kini.
Musim
dingin hampir tiba. Dahan pohon maple itu terkoyak, berlubang, hama tinggal
disana. Bocah ini panik, ia terbangun dari tidur, mengusap dahan pohon maple
itu perlahan.
“Pasti
sakit ya? Tunggu disini, aku akan carikan sesuatu untuk menutup dahanmu.” Ujar
bocah ini seraya berlari menyusuri jalan, lagi – lagi tak tau kemana.
Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, berharap menemukan sesuatu yang bisa
mengobatinya. Bibir mungilnya komat – kamit merapal doa, memanjatkan doa
setulus hati, berharap sang penguasa alam ini mendengar jeritannya.
Bocah
ini terus berjalan, tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak berbatu, kristal
salju mulai turun, membalut ibu pertiwi menjadi warna putih. Nafasnya mulai
berubah menjadi asap, badannya menggigil, sepintas dirinya ingin mengeluh,
Namun, terbayang sosok pohon maple itu tetap berdiri tegak diterpa angin dan
hujan, kini ia koyak, salju mulai membebani ranting dan dahannya yang ringkih.
Bocah ini akhirnya kembali berjalan,
menyeret kakinya yang mulai bengkak terpapar dinginnya salju.
Tapi.
Bocah
ini akhirnya jatuh tersungkur, pipinya terperosok ditanah, tergesek dan lebam.
Dihadapannya berdiri tegak pohon eek yang rimbun. Diseretnya kakinya kesana,
bersandar pada pohon eek tersebut. Dahan pohon eek tersebut berayun – ayun
memaksa bocah ini untuk menutup matanya
dan beristirahat. Bocah ini menolak, ditariknya kaki yang memerah, berharap
bisa bangkit, namun kemudian sulur – sulur berduri menjerat tubuh mungilnya.
Bocah ini meronta, memberontak, membabat sulu – sulur itu membabi buta, tapi
tangan mungilnya tiada daya. Bocah ini merintih, darah mengalir dari tangan
mungilnya yang sobek dibelai duri, ia ingin segera pergi, pohon maple itu menunggunya.
Lagi. Bocah itu meronta, menarik paksa tubuhnya keluar dari jeratan sulur,
tubuhnya terluka dimana – mana, salju dibawah kakinya perlahan mulai dibasahi
warna merah.
Kala
itu.
Bocah
ini merintih, memanggil – manggil pohon maple itu, berharap ia sudi untuk
membantunya. Dirinya ingin menangis, suaranya tercekat, tak mampu bersuara,
batinnya merintih, saat ia memejamkan mata, sebuah daun maple jatuh
dihadapannya, mendadak tubuhnya jadi hangat, lukanya tak lagi perih. Seorang
bocah laki – laki tiba – tiba berdiri disebelahnya, mengangkat sebilah logam
tajam, menebaskannya kearah sulur – sulur yang membelit.
Bocah
ini jatuh berlutut ditanah bersalju yang sudah jadi merah. Secepat kilat ia
bersihkan sulur yang menempel ditubuh. Kaki mungilnya sontak berlari mengejar
bocah laki – laki tadi yang seraya pergi.
“Anu,
Terimakasih.” Ujar bocah ini sambil mengelap pipinya yang tidak sengaja
berdarah.
“Aku
cuman enggak sengaja lewat, aku enggak bantu ngapa – ngapain.” Tangkas bocah
laki – laki itu sambil tetap berjalan menyusuri salju. Badannya tinggi jakung,
ia berjalan gontai, rambutnya yang ikal nampak agak abu – abu akibat salju yang
hinggap disana, matanya berkali – kali berkedip, keningnya berkerut akibat ia
memicingkan mata – nampaknya dia rabun. Rambut ikalnya makin lama makin abu –
abu, dihinggapi banyak kristal salju.
Bocah
ini tersenyum menatap punggung bocah didepannya.
“Andai
aku bisa jadi salju di rambutmu, ringan, nempel padamu kemana – mana, dan pada
waktunya nanti akan leleh dan mendinginkan kepalamu, mungkin dia bakal marah –
marah kayak kakek – kakek diseberang jembatan itu.” Gumam bocah ini sambil
tertawa geli. Menggumamkannya mengingatkan bocah ini pada pohon maple itu, yang
selalu ada disetiap ia jatuh, rantingnya sederhana membuat bocah ini rindu akan
belaian dedaunannya yang gugur menerpa wajah.
Kemudian.
Bocah
ini berlari terseok – seok, membawa seikat jerami dibawah derasnya salju yang
turun. Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, mengkhawatirkan dahannya yang
bisa – bisa busuk ditimpa salju. Matanya
sesekali terpejam, dari hati yang paling dalam ia berbisik pada sang penguasa
alam, berbisik agar pohon mapple itu baik – baik saja, agar ia bisa kembali
mendekapnya dengan penuh kerinduan.
Kalau
saja.
Bocah
ini bisa datang lebih awal. Kalau saja sulur – sulur tadi tidak muncul, bocah
ini tidak akan terlambat, ia tidak akan berlumur darah, dan.
Pohon
mapple itu mungkin enggak tumbang.
Lutut
bocah itu lemas, mendadak kehilangan energi, ia tersungkur ditanah, jerami yang
dibawanya berserakan. Rahangnya bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan.
Pohon maple itu kini tertidur, tanah bersalju menjadi alasnya, sisa daunnya
berserakan dimana – mana. Bocah ini kalap, ia merangkak, memunguti dedaunannya
satu persatu mendekapnya di dada, seakan tak ingin kehilangan bagian dari sosok
yang ia sayangi. Air matanya tertahan, tangannya bergetar.
“Kamu
sedang apa?” terdengar suara dari depan bocah ini, seorang bocah perempuan
berkuping panjang menyapanya.
“Aku
gagal.” Ujar bocah ini sambil tersenyum getir, mendekap erat dedaunan yang bisa
ia kumpulkan.
“Kenapa?”
“Aku
gagal membalas kebaikannya. Gagal membawanya kembali bahagia.” Suara bocah ini
bergetar. “ Andai saja aku kembali kesini tepat waktu, mungkin kini pohon maple
itu masih bisa menyambutku pulang. Ia mengajariku berdiri tegar,
menghangatkanku dengan kasihnya saat badai tiba.”
Bocah
berkuping panjang itu tersenyum. “Itu juga yang aku dengar darinya.”
Bocah
ini terkejut, matanya membelalak. “ Maksudmu?”
“Saat
dirimu terjerat, pohon mapple itu memanggil – manggilku, meminta keajaiban.
Batinnya teriris melihatmu berlumuran darah, melihatmu terkoyak.” Bocah
berkuping panjang itu berjongkok. “Ia bilang telah gagal menjagamu, matanya
sayu. Aku ingin dia tau bahwa selama ini ia telah banyak berjuang. Dengan
sepenuh hatinya, dan kamu, menerimanya dengan sepenuh hatimu. Tapi perlu ada
yang namanya rintangan untuk setiap jalan yang ingin mulus.” Ia tersenyum lagi.
“Mangkanya aku pinjami dia wujud bocah dan ia langsung kelabakan pergi menemuimu.”
Bocah
ini bergetar mendengarnya. “Oh jadi bocah laki – laki itu dia.” Bibirnya
membentuk simpul senyuman. “Sudah kuduga aku ingin jadi salju yang hinggap
dirambut ikalnya. Aku ingin memperbanyak diri dirambutnya biar dia keliatan
kayak kakek – kakek .” bocah ini berjalan tertatih. Menebarkan daun yang dia
dekap diatas dahan pohon mapple itu. Menciumnya lembut sambil tersenyum.
“Aku
harap bagian tubuhmu yang tersisa masih bisa tumbuh, dan aku harap jiwamu masih
disini, agar aku bisa mendekapmu lagi.” Bocah ini tersenyum lalu berjalan
menyusuri gelapnya malam.
Kini,
apalagi.
Bocah
ini meringkuk memandangi air danau yang tenang tak beriak. Ia memeluk lututnya,
matanya leleh akan air mata, tubuh mungilnya bergetar.
“Kamu
sedang apa?” lagi – lagi bocah berkuping panjang itu datang menyapanya.
“Aku
lagi mengeluarkan emosi.” Ujar bocah ini serak.
“Kenapa
tadi kamu masih bisa tersenyum?” kuping bocah itu naik.
Bocah
ini tersenyum. “Karena pohon maple itu lebih suka melihatku tersenyum, ia sudah
melihatku terkoyak, ia tidak mungkin menerima air mata bocah.” Ujarnya.
Bocah
ini menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang.
“
Kamu tau? Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Berbagi masalah dan dinginnya
malam bersama. Tapi aku enggak bisa apa – apa, enggak becus juga.” Bocah ini
menatap bocah berkuping panjang disebelahnya. “ Aku takut menyakitinya dengan
dekapanku. Tapi jujur, aku masih ingin – sangat ingin – jadi butiran salju
dikepalanya.”
Bocah
berkuping panjang itu tersenyum. “Apa yang kamu lakukan apabila dia kembali
tapi tidak untukmu?”
Bocah
ini tersenyum menatap langit. “Aku rasa aku baru saja kehilangan birunya
langit, sama seperti aku kehilangan orangenya
maple yang selalu menguar dimataku.” Bocah ini berdiri. “Aku mungkin bukan
salju dikepalanya, tapi bukannya aku masih boleh mendoakan dan menantinya?”
bocah itu mendongak lagi, mengulurkan tangannya ke langit.
“Terimakasih.
Aku masih menunggumu.”
Bocah
berkuping panjang itu bangkit dari duduknya. “Semoga perasaanmu tersampaikan.”
Amazing grace, how sweet the sound they save a wretch
like me.
I once was lost but now i’m found, was blind but now, i
see
T’was grace that thaught my heart to fear, amnd grace my
fear relieved
How precious did, that grace appear
The hour i first believed.
Yang ku miliki hanya kata, sajak tlah kuselipkan bersama
angin,
Agar ia membelai rambutmu, meringankan susah jiwamu,
Yang kumiliki hanya kata, kurangkai dari hati ini,
Ia murni dan tak tercemar, dan mendamba satu hal,
kebahagiaanmu.
Letakkan letihmu, kedalam sajak kisah ini
Jika kau merasa sendiri, selimuti tubuhmu dengan sajakku.
-
For P.K.A.K.I