Follow

Minggu, 25 Agustus 2019

A LETTER FOR MAPLE TREE



“Senja yang kulihat bersamamu nggak pernah kelihangan paras eloknya,
Jalanan licin dikota ini, seakan jadi saksi atas semua tawa bahagiamu,
Saat burung – burung mengepakkan sayap, berpulang kerumah
Senyummu yang semanis sirup maple rasanya tumpah diatas kain putih
Menguar melukiskan warna pastel kalem,
Namun kubalas sebuah dosa yang mungkin tak bisa kujernihkan.”

            Dulu.
            Seorang bocah ini nggak pernah mau berpikir jauh kedepan. Melangkahkan kaki mungilnya dijalanan berbatu tanpa alas kaki. Bersenandung sendu, berjalan tanpa arah. Langkahnya terhenti, menatap langit biru yang jauh dan dalam. Ketika rambutnya bergoyang dimainkan angin, ia menemukan satu pohon maple yang berdiri tegar, kurus, menjulang tinggi, tegar walaupun koyak dimana – mana. Hati bocah ini terkesima, ia melangkah kebawahnya tanpa pikir panjang.
            Dulu.
            Bocah ini enggak pernah tau tempat ini apa dan bagaimana, ia hanya  berjalan menyusuri jalanan yang ada. Namun, pohon maple ini seolah mengayun, memberinya tempat untuk pulang, menyebarkan kehangatan tiada kira lewat dedaunannya yang gugur. Ketika surya mulai kembali ke peraduan, dirinya yang kurus dan menjulang terlihat menawan bermandikan cahaya merah jambu – orange.
            Kini.
            Bocah ini sadar, ranting rampingnya terkoyak, dedaunannya rontok setiap hari, dedaunan yang selalu menghantarkan tidurnya dalam kenyamanan. Terlelap dalam pelukan ibu pertiwi. Tapi pohon maple itu tegar, tak sedikitpun ia goyang. Si bocah kembali terkesima, ia berlari memeluk dahan rampingnya erat, tertawa dibawah cahaya rembulan.
            “Apapun yang terjadi padamu, aku ingin jadi bagiannya. Aku ingin berada disisimu hingga dahanmu sudah tak lagi tegar.” Bisik bocah ini lirih, seulas senyum tertarik dari bibir mungilnya.
            Kini.
            Musim dingin hampir tiba. Dahan pohon maple itu terkoyak, berlubang, hama tinggal disana. Bocah ini panik, ia terbangun dari tidur, mengusap dahan pohon maple itu perlahan.
            “Pasti sakit ya? Tunggu disini, aku akan carikan sesuatu untuk menutup dahanmu.” Ujar bocah ini seraya berlari menyusuri jalan, lagi – lagi tak tau kemana. Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengobatinya. Bibir mungilnya komat – kamit merapal doa, memanjatkan doa setulus hati, berharap sang penguasa alam ini mendengar jeritannya.
            Bocah ini terus berjalan, tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak berbatu, kristal salju mulai turun, membalut ibu pertiwi menjadi warna putih. Nafasnya mulai berubah menjadi asap, badannya menggigil, sepintas dirinya ingin mengeluh, Namun, terbayang sosok pohon maple itu tetap berdiri tegak diterpa angin dan hujan, kini ia koyak, salju mulai membebani ranting dan dahannya yang ringkih. Bocah ini akhirnya kembali  berjalan, menyeret kakinya yang mulai bengkak terpapar dinginnya salju.
            Tapi.
            Bocah ini akhirnya jatuh tersungkur, pipinya terperosok ditanah, tergesek dan lebam. Dihadapannya berdiri tegak pohon eek yang rimbun. Diseretnya kakinya kesana, bersandar pada pohon eek tersebut. Dahan pohon eek tersebut berayun – ayun memaksa bocah ini  untuk menutup matanya dan beristirahat. Bocah ini menolak, ditariknya kaki yang memerah, berharap bisa bangkit, namun kemudian sulur – sulur berduri menjerat tubuh mungilnya. Bocah ini meronta, memberontak, membabat sulu – sulur itu membabi buta, tapi tangan mungilnya tiada daya. Bocah ini merintih, darah mengalir dari tangan mungilnya yang sobek dibelai duri, ia ingin segera pergi, pohon maple itu menunggunya. Lagi. Bocah itu meronta, menarik paksa tubuhnya keluar dari jeratan sulur, tubuhnya terluka dimana – mana, salju dibawah kakinya perlahan mulai dibasahi warna merah.
            Kala itu.
            Bocah ini merintih, memanggil – manggil pohon maple itu, berharap ia sudi untuk membantunya. Dirinya ingin menangis, suaranya tercekat, tak mampu bersuara, batinnya merintih, saat ia memejamkan mata, sebuah daun maple jatuh dihadapannya, mendadak tubuhnya jadi hangat, lukanya tak lagi perih. Seorang bocah laki – laki tiba – tiba berdiri disebelahnya, mengangkat sebilah logam tajam, menebaskannya kearah sulur – sulur yang membelit.
            Bocah ini jatuh berlutut ditanah bersalju yang sudah jadi merah. Secepat kilat ia bersihkan sulur yang menempel ditubuh. Kaki mungilnya sontak berlari mengejar bocah laki – laki tadi yang seraya pergi.
            “Anu, Terimakasih.” Ujar bocah ini sambil mengelap pipinya yang tidak sengaja berdarah.
            “Aku cuman enggak sengaja lewat, aku enggak bantu ngapa – ngapain.” Tangkas bocah laki – laki itu sambil tetap berjalan menyusuri salju. Badannya tinggi jakung, ia berjalan gontai, rambutnya yang ikal nampak agak abu – abu akibat salju yang hinggap disana, matanya berkali – kali berkedip, keningnya berkerut akibat ia memicingkan mata – nampaknya dia rabun. Rambut ikalnya makin lama makin abu – abu, dihinggapi banyak kristal salju.
            Bocah ini tersenyum menatap punggung bocah didepannya.
            “Andai aku bisa jadi salju di rambutmu, ringan, nempel padamu kemana – mana, dan pada waktunya nanti akan leleh dan mendinginkan kepalamu, mungkin dia bakal marah – marah kayak kakek – kakek diseberang jembatan itu.” Gumam bocah ini sambil tertawa geli. Menggumamkannya mengingatkan bocah ini pada pohon maple itu, yang selalu ada disetiap ia jatuh, rantingnya sederhana membuat bocah ini rindu akan belaian dedaunannya yang gugur menerpa wajah.
            Kemudian.
            Bocah ini berlari terseok – seok, membawa seikat jerami dibawah derasnya salju yang turun. Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, mengkhawatirkan dahannya yang bisa – bisa busuk ditimpa salju.  Matanya sesekali terpejam, dari hati yang paling dalam ia berbisik pada sang penguasa alam, berbisik agar pohon mapple itu baik – baik saja, agar ia bisa kembali mendekapnya dengan penuh kerinduan.
            Kalau saja.
            Bocah ini bisa datang lebih awal. Kalau saja sulur – sulur tadi tidak muncul, bocah ini tidak akan terlambat, ia tidak akan berlumur darah, dan.
            Pohon mapple itu mungkin enggak tumbang.
            Lutut bocah itu lemas, mendadak kehilangan energi, ia tersungkur ditanah, jerami yang dibawanya berserakan. Rahangnya bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan. Pohon maple itu kini tertidur, tanah bersalju menjadi alasnya, sisa daunnya berserakan dimana – mana. Bocah ini kalap, ia merangkak, memunguti dedaunannya satu persatu mendekapnya di dada, seakan tak ingin kehilangan bagian dari sosok yang ia sayangi. Air matanya tertahan, tangannya bergetar.
            “Kamu sedang apa?” terdengar suara dari depan bocah ini, seorang bocah perempuan berkuping panjang menyapanya.
            “Aku gagal.” Ujar bocah ini sambil tersenyum getir, mendekap erat dedaunan yang bisa ia kumpulkan.
            “Kenapa?”
            “Aku gagal membalas kebaikannya. Gagal membawanya kembali bahagia.” Suara bocah ini bergetar. “ Andai saja aku kembali kesini tepat waktu, mungkin kini pohon maple itu masih bisa menyambutku pulang. Ia mengajariku berdiri tegar, menghangatkanku dengan kasihnya saat badai tiba.”
            Bocah berkuping panjang itu tersenyum. “Itu juga yang aku dengar darinya.”
            Bocah ini terkejut, matanya membelalak. “ Maksudmu?”
            “Saat dirimu terjerat, pohon mapple itu memanggil – manggilku, meminta keajaiban. Batinnya teriris melihatmu berlumuran darah, melihatmu terkoyak.” Bocah berkuping panjang itu berjongkok. “Ia bilang telah gagal menjagamu, matanya sayu. Aku ingin dia tau bahwa selama ini ia telah banyak berjuang. Dengan sepenuh hatinya, dan kamu, menerimanya dengan sepenuh hatimu. Tapi perlu ada yang namanya rintangan untuk setiap jalan yang ingin mulus.” Ia tersenyum lagi. “Mangkanya aku pinjami dia wujud bocah dan ia langsung kelabakan pergi menemuimu.”
            Bocah ini bergetar mendengarnya. “Oh jadi bocah laki – laki itu dia.” Bibirnya membentuk simpul senyuman. “Sudah kuduga aku ingin jadi salju yang hinggap dirambut ikalnya. Aku ingin memperbanyak diri dirambutnya biar dia keliatan kayak kakek – kakek .” bocah ini berjalan tertatih. Menebarkan daun yang dia dekap diatas dahan pohon mapple itu. Menciumnya lembut sambil tersenyum.
            “Aku harap bagian tubuhmu yang tersisa masih bisa tumbuh, dan aku harap jiwamu masih disini, agar aku bisa mendekapmu lagi.” Bocah ini tersenyum lalu berjalan menyusuri gelapnya malam.
            Kini, apalagi.
            Bocah ini meringkuk memandangi air danau yang tenang tak beriak. Ia memeluk lututnya, matanya leleh akan air mata, tubuh mungilnya bergetar.
            “Kamu sedang apa?” lagi – lagi bocah berkuping panjang itu datang menyapanya.
            “Aku lagi mengeluarkan emosi.” Ujar bocah ini serak.
            “Kenapa tadi kamu masih bisa tersenyum?” kuping bocah itu naik.
            Bocah ini tersenyum. “Karena pohon maple itu lebih suka melihatku tersenyum, ia sudah melihatku terkoyak, ia tidak mungkin menerima air mata bocah.” Ujarnya.
            Bocah ini menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang.
            “ Kamu tau? Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Berbagi masalah dan dinginnya malam bersama. Tapi aku enggak bisa apa – apa, enggak becus juga.” Bocah ini menatap bocah berkuping panjang disebelahnya. “ Aku takut menyakitinya dengan dekapanku. Tapi jujur, aku masih ingin – sangat ingin – jadi butiran salju dikepalanya.”
            Bocah berkuping panjang itu tersenyum. “Apa yang kamu lakukan apabila dia kembali tapi tidak untukmu?”
            Bocah ini tersenyum menatap langit. “Aku rasa aku baru saja kehilangan birunya langit, sama seperti aku kehilangan orangenya maple yang selalu menguar dimataku.” Bocah ini berdiri. “Aku mungkin bukan salju dikepalanya, tapi bukannya aku masih boleh mendoakan dan menantinya?” bocah itu mendongak lagi, mengulurkan tangannya ke langit.
            “Terimakasih. Aku masih menunggumu.”
            Bocah berkuping panjang itu bangkit dari duduknya. “Semoga perasaanmu tersampaikan.”

Amazing grace, how sweet the sound they save a wretch like me.
I once was lost but now i’m found, was blind but now, i see
T’was grace that thaught my heart to fear, amnd grace my fear relieved
How precious did, that grace appear
The hour i first believed.

Yang ku miliki hanya kata, sajak tlah kuselipkan bersama angin,
Agar ia membelai rambutmu, meringankan susah jiwamu,
Yang kumiliki hanya kata, kurangkai dari hati ini,
Ia murni dan tak tercemar, dan mendamba satu hal, kebahagiaanmu.
Letakkan letihmu, kedalam sajak kisah ini
Jika kau merasa sendiri, selimuti tubuhmu dengan sajakku.

-       For P.K.A.K.I

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com