Follow

Senin, 20 Januari 2020

S U M M E R



“Dalam satu detik yang sama, jutaan bayi lahir tanpa diberikan pilihan apapun.
Diberkahi hal yang sama dan urat nadi yang dialiri mantra yang sama
Tangisan yang melengking menyeruak, menyapa dunia untuk pertama kalinya.
Mengguratkan senyum, memudarkan lara dalam kalbu.
Bagimana kamu bisa lupa?”

            Nyaman.
Angin musim panas lewat hilir mudik, dedaunan yang jatuh berkejaran, pepohonan bergoyang seperti ada pesta dansa dadakan  ditempat ini. Kurebahkan badan mungil diatas padang ilalang yang mungkin akan protes padaku, matahari begitu hangat, sepintas kupejamkan mata, bau matahari, kemudian seutas senyum terlukis di bibirku. Beberapa detik kemudian, kurasakan teduh diatas kepala, kupicingkan mata enggan, ada bocah laki – laki disana, membungkuk menatapku heran.
            “Hei.” Anak laki – laki itu menatapku polos, matanya lebar, bulat dan berbinar, bibirnya yang nggak terkatup rasanya hampir saja liur anak itu terjun bebas ke pipiku.
            “Tanahnya empuk?” tanya anak itu sambil tersenyum, aku meringis mendengar ucapannya, dua detik kemudian anak itu merebahkan dirinya kasar disebelahku sambil tertawa – tawa girang. Matanya berbinar, walaupun kulit dan rambutnya gelap, bagiku dia begitu menyilaukan.
            “Kamu siapa?”  tanyaku sambil memiringkan kepala
            Anak itu berhenti tertawa, dia terduduk, menatapku sambil tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Aku Matahari.” Ucapnya.
Sesaat angin datang menerpa kami dengan sedikit keras hingga rok yang kukenakan hampir tersingkap,anak itu tersenyum, rambut hitam ikalnya menari dimainkan angin yang nampaknya mengikuti irama waltz. Saat itu aku merasakan, aku melihat matahari sedang jatuh ke tanah, mungkin harusnya saat ini aku mengucapkan harapan.
****
            Semua manusia dilahirkan dengan garis tangan yang berbeda, dengan penempatan yang berbeda, rasanya seperti sedang makan roti tawar dengan berbagai macam varian rasa selai, mungkin aku akan ambil selai strawberry alih – alih marshmallow, aku enggak akan ambil rasa cokelat karena itu pahit, aku tidak suka pahit. Tapi kulit matahari cokelat, namun kurasa dia enggak pahit, mungkin karena namanya matahari jadi dia terbakar  cepat dariku.
            Ngomong – ngomong namaku Hana, sang pencipta bilang artinya bunga, kusuma,sekar, tapi aku enggak peduli itu, yang kutahu namaku Hana dan aku keberatan dipanggil dengan nama sinonim. Kali ini aku sedang membuntuti matahari, mungkin aku seperti bunga mungil yang membuntuti matahari agar proses fotosintesisku lancar, tapi aku nggak menghasilkan zat tepung karena aku bahkan enggak berfotosintesis – aku mengikutinya bukan karena itu, namun karena matahari hampir kehilangan cahayanya.
            Bocah itu kini sudah menjadi laki – laki yang hampir dewasa, dia mendengus berkali – kali sampai terdengar seperti sapi, tubuhnya sehat, masih saja cokelat – tapi mungkin enggak pahit kalo kujilat – tingginya seperti menara eiffel karena aku masih saja pendek dan memang enggak akan bisa tinggi, bedanya, kini rambut ikalnya menyembunyikan mata tajam seperti ujung tombak. Sinar hangat yang dulu terpancar,kini hilang seperti bumi yang berotasi jadi malam hari,aku memicingkan mata sambil mendecakkan lidah sebal.
            Tubuhnya sehat, tapi lebam menguar, pada batinnya, aku enggak suka, matahari itu bersinar dan hangat, kalo mataharinya lebam bagiku itu jadi seperti telur dadar goreng yang gosong karena kekurangan minyak.
            Kusejajarkan langkah dengan  matahari, kuraih tangannya yang gontai dengan tiba – tiba dan dia melihatku heran.
            “Adik, kok sendirian?” Matahari melihatku kebingungan.
            Aku mendengus sebal, “Enak aja bilang adik, namaku Hana, dan aku bukan adikmu.”
Matahari menggaruk kepalanya yang tidak  gatal, “Kamu nyasar ya? Rumahmu dimana? Sini ku antar pulang.” Aku tersenyum sambil mengarahkan jari telunjukku ke Jidat matahari yang tinggi.
            “Itu rumahku, kalau dia nggak bersinar nanti aku enggak bisa fotosintesis, meskipun aku enggak punya klorofil dan enggak menghasilkan C6H12O6 .” ucapku sambil mengembungkan pipi, kulangkahkan kaki sambil berlari menuju antah berantah dan angin bergerak cepat mengganti suasana menjadi padang ilalang.
            Matahari mengedarkan pandangan tak percaya, matanya menatapku heran.
            “Dasar manusia dewasa.”aku mendengus. “ mentang – mentang udah bisa berlarian tanpa tersandung kaki sendiri, seenaknya menjatuhkan diri ke perut bumi.” Matahari memiringkan kepalanya bingung. “ Kamu lupa sepertinya, dulu, saat kamu pertama kali diutus untuk turun ke Bumi oleh sang pencipta, beliau meniupkan mantra berisi nama kepadamu, mantra itu mengikatmu untuk tetap jadi dirimu sendiri, agar kamu tetap bisa hidup sesuai dengan arti namamu dan jalan hidupmu.”  Aku menjentikkan jari kearah langit. “Jadi bersinarlah seperti matahari yang dulu.”
            Mengoceh panjang lebar dengan manusia dewasa menjadikanku mengantuk, jadi aku memilih untuk memutar badan dan menghilang namun Matahari yang kebingungan menarik tanganku.
            “Hana, sebenarnya kamu siapa?”
Aku menguap bosan sambil mengucek – ucek mata. “well, orang bilang aku changeling, hantu, grim reaper, tapi sebenarnya aku elf – peri bunga.” Aku menarik tanganku dan melambaikannya, seraya menghilang bersama desiran angin dan meninggalkan Matahari yang kebingungan kembali ke habitatnya.







-if you want to know his real name, let’s find the “Matahari” phrase in Sanskrit language :)


luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com