“Aku takut.... Aku takut jika tiba – tiba saja tuhan
mencabut nyawaku saat aku bersamamu.”
“Aku percaya.. kau akan kembali dan bersua lagi.”
Rintik
air hujan menyapu semua emosi yang pernah singgah dihati semua insan. Terkadang
ia datang untuk menghibur,terkadang ia datang membawa lara. Tapi,nenekku selalu
bilang hujan adalah anugerah dari Tuhan. Perantara Tuhan untuk menyampaikan
cintanya lewat tangan – tangan alam untuk para hamba-Nya yang mungkin sedang
bimbang.
Well,mungkin kau akan tertawa saat tau
kata – kata tadi terlontar dari mulut seseorang yang hina sepertiku. Mungkin
hanya sedikit anugerah ditengah kebimbanganku saat ini. Kau tau bukan? Enggak
semua malaikat dengan Cuma – Cuma turun buat ngehibur manusia yang kesepian.
Apalagi cewek lusuh sepertiku. Hahaha,toh aku juga enggak ngarep.
Kuusap
kaca tipis berembun itu dengan ujung telunjuk yang mulai memucat. Kupaksakan
senyum ringkih terpasang dibibir pecah – pecah saat seorang suster cantik paruh
baya mengetuk pintu kamar.
“Riessa
sayang,kau sudah siap?” tanyanya lembut kearahku
Sejenak
kelemparkan pandangan kearah kerumunan orang yang berlalu lalang dibawah sana.
Terlihat seorang pemuda berpayung transparan nampak terburu – buru dengan
bibirnya yang terus – terusan mengepulkan asap putih tipis,bibirnya terlihat
biru. Aku terkikik kecil,entah kenapa air mataku meleleh,cepat – cepat kuhapus
dengan sebelah tangan dan bergegas membalas senyum sang suster yang masih
berdiri didekatku.
“Sudah
dong Sus. Udah pasti malahan,haha.” Balasku jenaka
Pandangan
lembutnya berubah menjadi penuh simpatik. “Berjuanglah.” Ujarnya singkat,lantas
berjalan kearahku.
“Thanks,Sus.”
Balasku.”Ummm.... Boleh aku minta satu permohonan?”
Derai
hujan menambah intensitasnya,angin senja menerobos masuk kedalam ruangan.
Mencoba membekukan suasana bimbang.
****
“Kau
bisa lebih cepat? Dasar sapi gendut!”
Cowok
itu bersungut – sungut,rambut hitam gelapnya terlihat senada dengan iris
matanya yang kini menajam. Pipinya yang merah menggembung bagai tomat,baju
putih – krem musim panasnya membuatnya terlihat elegan walau kini wajahnya
benar – benar semerah kepiting rebus.
“Aku
udah berusaha cepat tau! Kakimu saja yang kepanjangan,weeeek.” Balasku sambil
menjulurkan lidah jahil. “Dan lagi,aku bukan sapi dan aku tidak gendut! Ingat
itu William Cedric!”
Will
memutar matanya bosan. “Kalau kau bukan sapi lalu apa? Ulat tikar gembul,huh?”
telunjuk lentiknya menunjuk kubangan air tak jauh dari tempatnya berpijak.”Kau
harus sering – sering berkaca,Riessa Vien.” Tambahnya sok keren.
Will
menarik lenganku kasar sambil mengomel tak jelas,rambutnya acak – acakan
dimainkan angin. Terlihat keren. Lima detik kemudian,ia tersenyum
lebar,memamerkan sederetan gigi putihnya. Telunjuknya menunjuk sebuah gubuk
sederhana ditengah – tengah padang bunga. Aku mengangguk,mengerti isyaratnya
dan ikut berlari lepas menerobos hamparan bunga yang bergoyang.
Kurebahkan
tubuhku bebas saat tiba digubuk. Tawa hangat menguar dibawah sengatan sinar
mentari. Will menjejerkan isi ranselnya dihadapanku. Banyak sekali buku – buku
disana. Bibirnya mengerucut saat bingung buku mana yang ingin ia tunjukkan
padaku. Aku terkikik melihatnya.
“Ini
dia!” ujar Will bangga. “Aku diam – diam mengambilnya dari rak – rak buku
tertutup diperpustakaan. Teknologi SAINS modern,disini tertulis bagaimana cara
mengatasi Leukimia lohh!” jelasnya dengan tatapan berbinar – binar.
Kunaikkan
sebelah alis. “Berarti sama aja kamu nyuri dong? Itu enggak baik,Will.”
Will
mendengus.”Aku enggak nyuri,dasar cewek sapi! Kalopun enggak aku ambil dua hari
lagi buku – buku itu bakal dimasukkan kegudang dan malah akan jadi kasurnya
para kecoa. Kan sayang!” belanya. “Lagian,aku bawain buku ini karena aku pengen
kamu sembuh.” Tatapannya menjadi melembut sekarang.
Kugenggam
kedua telapak tanganku sendiri,aku baru sadar. Sudah empat tahun sejak aku
divonis dokter. Selama itu penyakit yang katanya berbahaya ini bersemayam dalam
tubuh kurusku. Aku enggak ngerti itu penyakit apa. Well,umurku sekarang baru 10 tahun,wajar dong. Mirisnya lagi,karena
penyakit ini juga,aku enggak pernah tau rasanya jadi siswi suatu sekolah. Kalau
– kalau apa peri nyasar datang dan menawariku permohonan,pasti sudah kujawab
“pengen sekolah”. Haha.
Jangankan
bermain dengan teman sebaya,teman aja enggak punya. Maklum,sedari kecil aku
terisolasi dari lingkungan anak – anak karena penyakit ini juga. Karena
penyakit ini juga,kedua orang tuaku bercerai dan pergi entah kemana. Hanya
Will,satu – satunya anak yang mau berteman denganku semenjak pertemuan kami 2
tahun lalu. Kami bertemu dirumah sakit,saat itu Will dirawat,kepalanya terluka
karena jadi korban salah sasaran perkelahian disekolahnya.
“Woii!
Jangan ngelamun! Main kedanau sana yuuk!”
Teriakan
Will menyadarkanku,padahal sedikit lagi mungkin ada hujan dimataku. Cowok
pawang hantu didepanku ini memang satu – satunya teman yang bersikeras merayu
perawatku supaya aku bisa keluar meski hanya sebentar,untuk sekedar menikmati
dunia. Soalnya aku juga enggak tau kan,kapan waktu terakhirku didunia ini. Well, mungkin William adalah malaikat
yang dikirimkan Tuhan untukku. Malaikat yang membuat hari – hariku berwarna.
“Will,aku
enggak bisa lama – lama loh!” ujarku masam. “Suster Edith pasti akan memarahimu
lagi.”
Will
menepuk dadanya sok keren. “Aku enggak takut sama nenek lampir kayak dia.”
“Siapa
yang Nenek Lampir,huh?!”
Terdengar suara wanita paruh baya
melengking dibalik punggung Will. Rambutnya yang digelung rapi lengkap dengan
pakaian putihnya. Tidak salah lagi,itu Suster Edith.
Aku
hanya bisa nyengir saat melihat Will dimarahi karena kejahilan,keteguhan dan
sifatnya yang keras kepala itu. Hari – hari seperti itu terus
berlanjut,diiringi oleh canda tawa Will dan omelan Suster Edith dan diakhiri
dengan pil ultra pahit setiap malamnya. Kuharap semua itu bisa terus berputar
bagai siklus,namun itu hanya harapan naifku.
Kini,enam
tahun berlalu,Will semakin jarang datang kesini untuk sekadar mengajakku main
ataupun curhat tentang teman – temannya yang berbuat jahil atau menjauhinya.
Maklum,itu hal lumrah,notabene sekarang Will seorang siswa sekolah menengah
atas. Dengan dia yang rendah hati dan cerdas,si pawang hantu itu mungkin sudah
kebanjiran banyak job dan tugas.
Jika
dihitung – hitung,sudah 2 bulan,William enggak memunculkan batang hidungnya
dihadapanku. Mungkin aja,Riessa Vien sudah jadi onggokan memori diotaknya,but,no problem. Aku tetap
menantinya,karena enggak ada orang lain yang bisa kunanti lagi sih. Suster
Edith juga menemaniku setiap hari,itu juga udah lebih dari cukup. Haha..
Tapi
kalo boleh – hanya kalo boleh – aku pengen banget,ngomong yang – mungkin –
terakhir kalinya dengan seorang William Cedric. Bukan hal aneh sih,tapi yahh.
Cewek gembel kayak aku udah sering banget ngerasain dinginnya jarum operasi,ini
udah menjelang ke 7 kalinya. Tapi ada yang beda dengan operasi kali ini.
Nampaknya akar dari penyakit Leukimia ini sudah menjangkau banyak organ vital
tubuhku.
Operasi
kali ini adalah yang terakhir. Kesempatan sukesnya hanya 50% . jika berhasil
aku akan sembuh total,namun jika tidak,aku mungkin segera meniti tangga –
tangga cahaya langit. Ngomong – ngomong,aku enggak jago taruhan,jadi enggak tau
mana yang bakalan terjadi.
Tuhan
memang adil,seakan mendengar permohonanku,derap kaki terdengar dilorong,disusul
dengan daun pintu yang diputar. Angin berdesir bagai symphony alam yang benar –
benar sempurna. Sosok tegap itu kini berdiri dihadapanku,rambut hitamnya masih saja acak – acakan. Air mukanya kusut,sulit terbaca. Napasnya
masih tak lancar,terlihat seperti ada yang mengganjal dipikirannya.
“Ha
– Hai,Riees” Sapa sosok itu canggung. Ya,sosok itu,William.
Kupasang
senyum getir dibibir pucat. “Hai.” Balasku singkat. “Kamu lelah kan? Duduklah.”
William
berjalan gontai,duduk dengan gusar dikursi lusuh didekat ranjangku. “Bagaimana
kabarmu,Riess?”
“Enggak
begitu yakin,yang jelas aku masih hidup.” Kulihat William tersenyum atas
jawabanku. Iseng,tanganku merogoh sebuah buku yang sudah usang dari balik selimut.
“Aku menuruti saran buku ini.” Tambahku puas.
William
terbelalak,terlihat jelas dia mati – matian menahan napas agar butiran air
dibulu matanya yang lentik itu tidak terjun bebas. Dia masih keliatan keren
kok,haha..
“Maaf
ya.” Celetuk Will.”Guruku memberiku tugas diluar negeri. Orang tuaku juga sibuk
akan banyak hal yang dibutuhkan untuk berkarir. Maafkan aku yang hampir lupa
padamu. Padahal kamu masih saja menyimpan pemberianku yang enggak ada artinya
itu.”
Aku
mendelik. “Ini berharga tau! Buku ini kan simbol harapanmu, jangan lupa Will!
Aku berhasil bertahan selama 10 tahun ini karena ada kamu dan Suster Edith.
Mana mungkin aku marah kekamu. Dasar pawang hantu aneh!” balasku sambil
tertawa.
Will
bergeming,air matanya kini sukses terjun bebas diwajah rupawannya. Namun
bibirnya mengukir sebuah senyuman ikhlas yang menyejukkan. Angin senja meniup
tirai dinding pucat yang sedang menari. Saat tertimpa sinar mentari senja,wajah
Will benar – benar tampak bak malaikat.
“Aku
senang kok,bermain bersamamu itu menyenangkan. Karena mungkin Cuma itu yang
bisa kurasakan. Bisa dibilang tingkah songongmu itu,sumber kehidupanku. Thanks loh Will. Aku enggak bisa
ngebayangin kalo kamu enggak ada.” Kini bibirku mulai gemetar,pandanganku mulai
kabur. “Lusa pagi adalah operasiku yang ketujuh,terakhir. Hei,kalo aku enggak
kembali,tolong buat Suster Edith tersenyum yaak! Soalnya cuman kamu dan dia
yang aku kenal. Okay ?!”
Sempat
kulihat bibirnya gemetar,namun Will mengangguk. “Aku pasti akan menemanimu saat
operasi.”
“Enggak
perlu,kalo aku meninggal dihadapanmu,itu hal paling seram dalam hidupku.”
Kali
ini William tertawa lepas. “Aku janji enggak akan mewek dihadapanmu. Kalopun
jasadmu udah enggak ada didunia ini,aku yakin jiwamu akan terlahir kembali dan
menemuiku disini. Aku yakin.”
Pandanganku
buram,meski kudengar suaranya,lidahku kelu untuk menyahuti. Entah apa yang
terjadi,namun semuanya berubah menjadi hitam.
****
“Aku
punya satu permohonan.”
Suster Edith menatapku iba.
“Katakan,aku akan berusaha menyanggupinya.”
“Thanks.” Balasku sambil
tersenyum. “Aku sudah memberi Will jadwal operasiku yang salah,tapi aku tau dia
akan tetap datang kesini tepat waktu. Tolong jangan,biarkan dia melihatku saat
aku sekarat. Kumohon.” Tambahku.
Suster
Edith seakan tersambar petir mendengarnya,air mukanya menjadi tak yakin. “Itu
mustahil,Riess. Will itu kan –“
“Kumohon,kali
ini saja.” Desakku.
Para
dokter tiba dan bersiap memindahkanku keruang operasi,Suster Edith mengangguk
gemetar. Walau aku tau,sulit baginya menyanggupi permohonanku. Will sudah ada
dibawah,melihatku sekarat,mungkin saja bisa mempengaruhi kesehariannya. Jelas
aku enggak mau jadi beban baginya lagi,sudah cukup aku menjadi beban
disini,sedangkan orang yang melahirkanku sudah hilang entah kemana.
Lampu
operasi dinyalakan,masih sempat kudengar teriakan Will yang membabi buta diluar
sana,mencoba menentang Suster Edith. Kusunggingkan,senyum selagi aku
bisa,diiringi dengan setetes bulir air bening yang terjun dari mataku yang
sayu.
Jarum
bius menembus kulitku,kurasakan kesadaranku melayang kemasa – masa kecilku yang
indah. Berlarian dipadang bunga,bercekcok dengan Will dan dimarahi Suster
Edith. it’s really sweet memory.
Sayang harus kutinggalkan disini,rasanya ingin kudekap hingga ke kehidupan yang
selanjutnya.
Banyak
waktu terlewat,kubuka mata dan kudapati wajah kecewa para dokter,sudah
kuduga,ini memang sudah saatnya. Pintu ruangan didobrak keras,Will muncul dari
sana dengan mata memerah dan benar – benar sembab. Padahal ia berjanji tidak
akan menangis. Ia berlari kearahku tanpa memerdulikan hardikan para dokter.
Mulutnya
berkomat – kamit melontarkan banyak hal yang enggak lagi dapat ditangkap
telingaku. Tangannya yang dingin menggenggam tangan lunglaiku,matanya
mencurahkan segala yang ingin dia katakan. Lidahku kelu,tubuhku mati rasa. Tak
ada yang bisa kulakukan untuk meresponnya kecuali air mata yang mengalir tulus.
Suster
Edith ada disana,menutupi hidungnya dengan saputangan pucat kesukaanya. Sarafku
rasanya mati,otakku seakan mengisyaratkan bahwa ia telah bebas tugas. Mungkin
inilah saat ku untuk meninggalkan semua kenangan indah dengan mereka.
Hanya
sedikit kata – kata Will yang berhasil kutangkap.
“Kami
menunggumu. Kami Mencintaimu! Kuharap kamu bisa kembali kesini suatu saat
nanti. Ingatlah aku menunggumu! Aku menyayangimu seumur hidupku.
Kumohon,tersenyumlah!”
Meski
hanya sedikit sudut bibirku yang bisa kutarik,aku berusaha sebelum rasa kantuk
luar biasa itu menarik kelopak mataku kuat – kuat. Diiringi senyum – tangis
William Cedric dan Suster Edith Millbrugh.
-FIN-