“Sendiri?
Ahh,kurasa aku tak perlu menjelaskan bagaimana rasanya.
Mungkin kebanyakan dari kalian akan mengira sendiri itu
menyedihkan.
Well,aku sudah biasa ditinggal sendirian dirumah.
Yea,aku enggak takut, i’m a gentleman
Tapi setelah mendengar kisahku yang satu ini,mungkin kau
akan berubah pikiran.
Pikirkan lagi jika kau sendirian dirumah,
Because.may be ‘you’re not alone”
“Ting”
Sebuah ringtone
pendek berdenting dari arah ponsel hitam yang sedari tadi tergeletak
disebelahku. Aku tak terlalu menghiraukannya karena saat itu jemariku tengah
lihai berdansa diatas joystick kesayanganku. Dengan bosan,kulirikkan mata
kearah jam yang masih saja berdetak didinding putih pucat itu.
“Pukul 7 malam”
gumamku pendek. Sedikit menghela napas sembali melirik kearah pintu kamar yang
masih saja menyembunyikan isinya seakan malu – malu untuk menyapa. Yea,pintu itu berdiri kokoh tepat
disamping pintu kamar tidurku.
Untuk
kedua kalinya aku kembali menghela napas,dengan langkah malas kulempar joystick pelan lantas menyambar
handphone yang sedari tadi sudah bercit – cat ria gara – gara seseorang diujung
sana aktif men – send pesan konyol
padaku.
“Astaga,tak
bisakah kau mengirimkan pesan yang lebih konyol lagi padaku tang? Rasanya
hambar.”
Jemariku
menari diatas layar ponsel dan....
“Sreet”
Seluruh penerangan dalam rumahku
kini padam. Rasanya duniaku sudah hilang ditelan kegelapan.
“Bagus,Petugas
listrik itu enggak kenal namanya malam,huh?” kini kuarahkan handpone – satu –
satunya penerangan yang ada didekatku kerah daun pintu yang masih menutup
rapat.
“Ayah
dan Bunda lama sekali.” Entah sudah berapa kali aku mengeluh hari ini,dan
mungkin, Tuhanpun bosan dengan keluhanku yang setopik ini.
Jam
dinding telah menunjukkan pukul setengah 8 malam, and i’m still alone.
Sebenarnya enggak sendirian juga sih. Ada dua ekor kucing yang sedang tertidur
lelap dikandangnya dan satu orang gadis kentang yang kini sedang ber cit – chat
ria lewat messenger denganku dari ujung
sana.
Tapi
intinya tetap saja,aku satu – satunya manusia yang tinggal dirumah maam ini.
Temaram api lilin diatas meja berkobar dimainkan angin malam. Entah kenapa
kurasa bulu kudukku meremang. Namun sedetik kemudian,kugelengkan kepala dan
lanjut membalasi pesan diponselku.
Saat
itu,aku tak sengaja menatap pintu yang mengarah pada dua ekor kucing
kesayanganku. Sejenak aku masih memamerkan cengiran karena berhasil menjahili
cewek kentang goreng diseberang sana,tapi dua detik kemudian,cengiran itu
lenyap. Kali aku benar – benar merasa ada yang aneh,ada sesuatu yang dingin dan
asing. Yang kurasakan kini tengah menatapku dari atas pintu. Menatapku tajam
seolah tak ingin aku berada disini.
Dengan
tengkuk yang mulai terasa dingin,kuketikkan sebuah pesan kepada temanku diujung
sana :
“Damn! Gue ngerasa ada yang ngeliatin gua
dari atas,dipintu deket kandang kucing”
Aku menelan ludah ketika selesai
mengirimnya,sepasang mata invisible
itu rasanya masih saja memandangku. Sesaat kemudian,pesan balasan masuk :
“Ignore aja,mereka itu sebenarnya sungkan,kalo
kamu cuek kemereka”
“Mungkin
gue terlalu handsome sampek – sampek dapet fans dari dunia lain, lhole.”
Balasku jahil. Kini aku tak lagi merasakan tengkukku dingin,apalagi saat
kudengar pintu gerbang rumahku digedor – gedor.
“Riall!
Buka pintunya nak.”
Suara
Ayah.
“Thanks
God” teriakku sambil berlari menuju gerbang dengan ponsel disaku celana. Namun
lagi – lagi bulu kudukku meremang saat kusadari pintu kamar disebelah kamarku
yang sedari tadi tertutup kini terbuka lebar. Padahal aku ingat dan masih sadar
kalau Ayah dan Ibu pergi beberapa jam yang lalu dan kini ayah baru kembali.
“Riall!
Cepat bukakan nak! Diluar dingin.” Teriak suara Ayah dari balik gerbang.
“Sebentar
yah!” Sahutku dan mulai melangkahkan kakiku enteng. Namun...
“Tap” sesuatu yang dingin menyentuh
pundakku lembut.
“Jangan
dibukakan nak,Ayah juga mendengarnya.”
“DEG”
Suara Ayah kini
berada dibelakangku,sedangkan yang diluar tetap menggedor pagar. Lilin
penerangan memudar dan dunia seakan pecah dalam selimut hitam.
-END-
0 komentar:
Posting Komentar